Pengantar
Sosialiasi para Cabub dan Cagub 2018 di wilayah NTT ini terkesan elitis. Mereka hanya menyambangi wilayah-wilayah perkotaan yang gampang dijangkau dengan mobil dan jalan kaki. Kapan kampung kami dijadikan sebagai tempat mereka menyosialisasikan diri jika mereka tidak pernah ke sini? Bagaimana mereka tahu masalah di kampung kalau sasaran sosialisasinya hanya di kota dan pinggirannya? Atau apakah mereka hanya menjadi bupati dan gubernur orang kota saja? Itu salah satu keluh kesah dari warga Desa Compang Necak, Kecamatan Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur kepada penulis saat liburan Natal dan Tahun Baru kemarin.
Keluh kesah dan Bahasa Setan
Keluh kesah dalam KBBI artinya segala ucapan yang terlahir karena kesusahan juga kepedihan. Keluh kesah bisa jadi beban pribadi juga kolektif warga masyarakat. Ia selalu lahir dari etalase ketertinggalan, keterpinggiran - dari sebuah isolasi.
Parade kepincangan pembangunan antara satu wilayah dan wilayah lain merupakan lahan subur timbulnya keluh kesah. Tengok warga Elar Selatan, Lambaleda bagian Timur mereka semua menyimpan keluh kesah itu bahkan tak jarang meluapkannya dalam status-status sarkas yang menyindir para penguasa. Tetapi apa makna sebuah kata jika didialogkan dalam sebuah ruang hampa? Ia hanya akan dimengerti sebagai bahasa Setan. Setan tak mungkin mengerti bahasa manusia.
Saat parade jalan trans Papua di pajang di Media, juga Simpang susun Semanggi yang memukau mata, masyarakat di wilayah Elar Selatan dan Lambaleda Timur hanya bisa menelan ludah. Ada yang timpang dari sistim pemerintahan kita, juga perasaan pemimpinnya. Sistim pemerintahan yang hanya mengafirmasi daerah juga wilayah tertentu adalah model terbaik dari sebuah sistim pemerintahan 'ata dami'.
Masyarakat dipaksa bertahan untuk suatu periode bisa 5 tahun, bisa 10 tahun untuk menangis dan mengeluh. Itu efek karena kamu tidak memilih 'si ini' atau 'si itu'. Masyarakat daerah pinggiran kerap menjadi santapan manis para politisi. Janji-janji terdengar sangat manis apalagi jika itu menjelang pesta demokrasi, Pileg, Pilbub, Pilgub. Masyarakat dibuat terbang di awan dan terkadang dipaksa untuk bertengkar denga sesama saudaranya sedarah.
Itu ewek plitik, kata nenek saya.
Bertolaklah ke Tempat Terpencil
Saya tak menjadi bagian Suksesor juga juru kampanye Paslon Pilkada. Saya anggota masyarakat biasa, melihat Pilkada kali ini sebagai ruang pertarungan tidak saja uang tetapi ruang ide, gagasan juga ruangan ujian. Ujian bagi pemimpin lama yang sudah berkuasa dan berniat mencalonkan diri kembali. Apakah dia sudah mengisi lembar jawaban di tanah ini dengan benar? Dari beberapa kecamatan serta puluhan Desa di tanah ini, sudahkah menjawab benar minimal separuhnya?
Untuk menjawab itu, pergilah ke kampung-kampung. Lihat, dengar dan rasakan geliat kehidupan mereka. Rasakan bagaimana oto tergelincir di bebatuan, atau mendorongnya karena 'terdo'ong mborek'. Rasakan itu. Saya yakin, jika kalian punya hati maka hatimu menangis.
Tau to? Kami masih 'caka' oto mau ke Ruteng atau ke Borong. Kami bangun jam 2 agar tak tertinggal. Itu rasanya seperti penumpang yang takut ketinggalan pesawat. Aduuuh, padahal kami mau naik oto bukan pesawat.
Hadeeeeeehhhhh.. Wangkar waleknnnnnn
Komentar
Posting Komentar